GERBANGINFORMASI.COM, MUARO JAMBI - Suasana pagi di halaman Kejaksaan Negeri Muaro Jambi, Jumat (14/11/2025), terasa lebih hangat dari biasanya. Secangkir kopi di tangan para jurnalis dan senyum ramah Kepala Kejaksaan Negeri Muaro Jambi, Karya Graham Hutagaol, membuka pertemuan sederhana yang sarat keakraban. Di balik agenda “coffee morning” itu, tersimpan kisah panjang perjalanan seorang jaksa yang tumbuh bersama dinamika penegakan hukum dan hubungan kemanusiaan.
Di hadapan para pewarta, Graham kembali menelusuri ingatannya ketika masih bertugas sebagai Koordinator Teknologi Informasi Produksi Intelijen sekaligus Ketua Tim Penangkapan Daftar Pencarian Orang (DPO). Salah satu operasi yang paling membekas baginya terjadi di Tembilahan—wilayah yang memaksanya dan tim masuk diam-diam ke tengah hamparan perkebunan sawit.
“Sekarang metode seperti itu sudah tidak bisa lagi. Semua harus lebih tertib dan sesuai SOP,” ujarnya sambil tersenyum kecil, seolah menertawakan ketegangan masa lalu yang kini hanya tinggal cerita.
Namun Graham menegaskan, pengalamannya bukan untuk membangun citra. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa hubungan baik antara aparat penegak hukum, wartawan, dan masyarakat telah lama menjadi bagian penting dari pekerjaannya.
“Saya sudah lama tidak bertugas di Jambi, tapi begitu SK saya keluar, banyak rekan media mengucapkan selamat. Itu bukti hubungan kekeluargaan yang selama ini kita bangun,” katanya.
Baginya, kejaksaan dan media ibarat dua sisi yang saling menguatkan. Aparat penegak hukum membutuhkan ruang publik untuk menyampaikan kerja-kerjanya, sementara jurnalis membutuhkan akses agar informasi yang mereka sajikan tetap jernih dan berimbang.
“Jurnalis punya kebebasan pers yang dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999, tapi kebebasan itu tetap harus diimbangi dengan etika. Kita semua bekerja dalam koridor negara hukum,” tegas Graham.
Karena itu, ia mendorong komunikasi yang lebih intens antara kejaksaan dan media—bukan sekadar formal, tapi dialogis, cair, dan saling memahami. Ia mengingatkan bahwa persoalan apa pun seyogianya bisa diselesaikan lewat percakapan yang terbuka.
“Tidak boleh saling memaksa atau memakai kacamata sempit. Kita ini diikat oleh pertemanan. Selama bisa dibicarakan baik-baik, mari kita bicarakan. Kalau perlu, kita libatkan mediator,” ujarnya.
Pernyataannya ditutup dengan sebuah pengingat yang terasa lebih sebagai nasihat hidup ketimbang pidato formal.
“Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan terlalu sedikit. Mari kita jaga sinergi demi pelayanan informasi hukum yang lebih baik untuk masyarakat,” pungkasnya.
Di akhir pertemuan, kopi telah tandas, tetapi pesan kebersamaan itu justru menguat—meninggalkan kesan bahwa penegakan hukum, pada akhirnya, bukan hanya soal prosedur. Ia juga tentang hubungan manusiawi yang dibangun dengan ketulusan, kepercayaan, dan komunikasi yang jernih. (Jun)

Social Header